JAKARTA – Kritikus politik, Faisal Assegaf menyebut, tidak sepantasnya lembaga survei mengumumkan pemenang pemilu berdasar quick count. Apalagi dilakukan sebelum KPU RI mengumumkannya secara resmi. Jika nekat dilakukan, maka lembaga survei itu pantas disebut telah melakukan kudeta dalam sistem pemilihan umum (pemilu).
Pernyataan ini disampaikan Faisal Assegaf dalam podcast yang ditayangkan melalui Channel Youtube @Abraham Samad Speak Up. Bertindak sebagai host adalah Abraham Samad sendiri.
Dalam pandangan Faisal Assegaf, quick count hanyalah sebuah metode perhitungan cepat. Secara sederhana bisa dijelaskan yakni dengan mengambil sampel sekitar 2.000 dari 823.000 TPS. Jadi bisa disaksikan sendiri bahwa sudah pasti tidak menggambarkan secara keseluruhan.
Dikatakan Faisal Assegaf, sebenarnya ratusan guru besar dari berbagai perguruan tinggi sudah menegaskan bahwa sistem pemilu ini akan berpotensi curang. Dan mereka juga sudah mengingatkan kepada seluruh rakyat bahwa cara untuk menghentikan itu adalah pemilu tanpa Jokowi.
“Jika Pemilu 2024 tetap dipaksakan terus dengan pengaruh Jokowi, maka hasilnya seperti sekarang ini. Semua sumber daya yang berpotensi melakukan kecurangan dilibatkan, dan itu dilakukan pada Pemilu 2024,” ungkap Faisal.
Menurutnya, apa yang dilakukan quick count bukan sesuatu yang baru. Ini adalah suatu perangkat yang sudah disiapkan untuk melegalkan jalannya proses kecurangan yang sudah didesain 7-8 bulan yang lalu.
Karena itu, jutaan rakyat yang mendukung perubahan tidak kaget. Hal ini pernah terjadi pada Pemilu 2019. Para pendukung Prabowo yang tersebar di seluruh Indonesia mengetahui hal ini. Saat itu Prabowo juga sudah melakukan sosialisasi.
“Prabowo pernah mengatakan bahwa quick count dari lembaga survei itu adalah kebohongan. Kemudian disambut jutaan rakyat pendukung Prabowo pada saat itu. Memang ini kumpulan para tukang tipu, pencuri suara, manipulator, mereka bekerja dengan politik transaksional, siapa yang bayar besar, mereka punya kepentingan persekongkolan jahat di sana, maka hasilnya akan mereka buat,” tegas Faisal.
Poin yang kedua, sambung Faisal, harus dipertanyakan apa dasar lembaga survei membuat quick count dan mengumumkan hasil pemenangan. Apa dasar hukumnya, jelas tidak ada. Maka ini layak disebut suatu kejahatan. Mereka harus bertindak sesuai prosedur hukum yang ada.
“Memang hak akademisi berekspresi dalam proses survei itu boleh. Tetapi mengumumkan kemenangan sebelum KPU mengumumkan itu suatu kudeta di dalam sistem pemilihan umum,” tutur Faisal. (rn/kba)
Umumkan Quick Count Pemenang Capres Lebih Dulu dari KPU, Lembaga Survei Lakukan “Kudeta Pemilu”
