Oleh Khairul Jasmi
TANGGAL 01 Oktober, Provinsi Sumatera Barat berusia 80 tahun. Jika dilihat, maka masa lalu sangat gemilang, ambruk pada 1958 sampai awal orde baru. Sejak zaman PRRI itu, peradaban kita bergeser. Kalau tak percaya bacalah buku Prof. Gusti Asnan. Ke depan agak kosong, risau-risau tanggung kita karenanya.
Jika tak boleh disebut peradaban, sebutlah namanya sesuai pemahaman masing-masing dan pergeseran itu memperlambat langkah Sumbar, kecuali dua peristiwa.
Pergeseran itu terjadi beberapa kali. Yang paling depan, bergeser karena gempa dahsyat 30 September 2009. Berturut-turut ke belakang, penumpasan PKI 1965, PRRI 1958, peristiwa PKI 1927, gempa hebat 1926, Perang Belasting 1908 dan tentu saja Perang Paderi 1821-1837.
Semua menggeser cara pandang dan tindak orang Minang. Yang paling hebat terasa, ada dua, Paderi dan PRRI. Paderi melecut untuk maju, karena tak mungkin, “kita perang ke perang saja, lebih baik ke surau.” Sedang PRRI, menghalau semua optimisme.
Masa depan Sumbar
Saya bagian dari semua orang yang bisa menebak-nebak masa depan provinsi ini. Karenanya, saya akan banyak salahnya. Ke belakang gantang sudah penuh, ke depan, agak kosong.
Semestinya, kita semua, berpikiran sama, bahu-membahu tanpa mesti diimbau-imbau, membangun pendidikan, budaya, agama dan ekonomi. Petani dibantu akses ke saprodi, modal dan pasar oleh pemerintah. Secara serius, bukan sambilan oleh satu dua dinas.
Petani gambir, kopi, kayu manis, karet, sayur-mayur, pisang, pepaya, nelayan dan apapun, jangan lagi terpisah dan dilupakan. Mesti ada peta ekonomi dan tindakan nyata. Sampai saat ini, hampir semua serba apa adanya.