SEBATIK – Warga Pulau Sebatik, Kalimantan Utara, lebih memilih barang barang harian produk Malaysia dibanding barang produksi negeri sendiri. Selain karna harga yang lebih murah juga ketersediaan barang yang mudah di dapat.
Contohnya, harga beras lokal di pulau ini terbilang jauh lebih mahal ketimbang beras Malaysia. Alhasil tidak sedikit warga yang lebih memilih membeli beras dari negara tetangga itu.
Pulau Sebatik sendiri merupakan pulau dengan kondisi spesial di mana daerahnya terletak di dua negara, yaitu sebagian Malaysia dan sebagiannya Indonesia. Oleh karena itu, transaksi menggunakan dua mata uang masih kerap terjadi, khususnya di kawasan perbatasan.
Muliyati menjadi salah seorang warga yang kerap membeli beras Malaysia untuk kebutuhan warungnya. Ia merupakan pemilik warung makan di kawasan perbatasan, bahkan jaraknya pun hanya 5 meter dari Patok Perbatasan Indonesia-Malaysia.
Muliyati mengatakan, produk beras Indonesia harganya bisa sampai Rp 130 ribu per 10 kg. Sedangkan harga beras Malaysia jauh di bawahnya, hanya sekitar Rp 90 ribuan. Selisih harga yang cukup jauh membuat masyarakat lebih memilih untuk membeli produk asal Malaysia itu.
“Lebih mudah dari Malaysia, lebih gampang, lebih murah. Beras di Tawao 27 ringgit 60 sen, Rp 90 ribuan, nggak sampai Rp 100 ribu. Sedangkan kalau di sini (Indonesia) harganya sekitar Rp 130 ribu,” kata Muliyati, ditemui di warungnya, Pulau Sebatik, Kalimantan Utara, Sabtu (24/2/2024).
Menurutnya kebanyakan masyarakat perbatasan juga lebih memilih produk sembako lainnya seperti minyak, sayur mayur, buah-buahan, hingga makanan beku (frozen food) dari Malaysia karena akses dan ketersediannya yang lebih cepat ketimbang menjangkau produk-produk Indonesia di bagian daerah lain.
Tidak hanya dari sisi belanja rumah tangga, menurutnya banyak juga petani setempat yang lebih memilih menjualnya ke Malaysia alias ekspor kecil-kecilan. Hal ini menjadi salah satu alasan yang membuat masyarakat mengantongi banyak ringgit.
“Petani jual hasil panen semua ringgit. Karena jual pisang, jual sawit, karet, ke sana (pengepul Malaysia). Ekspor. Boleh dikata 80% ringgit lah, hasil tani. (Jual ke Indonesia) jauh, ongkos kirimnya mahal,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Nila, salah satu pemilik toko kelontong di Pulau Sebatik. Meski tokonya berjarak sekitar 1-2 km dari perbatasan, namun transaksi menggunakan ringgit juga masih kerap terjadi karena produk sembako Malaysia lebih laku terjual.
“Produk malaysia (lebih laku) karena murah. Di sini prioritasnya yang mana yang murah, yang cepat laku,” sambungnya.
Oleh karena itu, menurut Nila, rata-rata toko di kawasannya menjual produk Malaysia karena permintaannya yang tinggi. Karena itulah, peredaran ringgit masih cukup banyak di wilayahnya.
“Semua toko hampir semua, rata-rata toko juga jualan produk Malaysia kayak minyak makan, kan ada lebih murah di sana. Di sana cuma Rp 16 ribu. Sedangkan barang Indonesia kurang lebih Rp 20 ribu. Bedanya lumayan jauh,” kata Nila, ditemui terpisah.
Begitu pula dengan beras. Menurutnya, meski beras Indonesia lebih enak dan lembut dibandingkan beras Malaysia yang keras, tapi produk tersebut tetap lebih laku lantaran harganya yang jauh lebih murah. Adapun para pedagang ini mendapatkan produk tersebut dari daerah Tawao, Malaysia.
“Dapat dari Tawau. Saya cuman pesan (lewat) HP saja, nggak datang (ke lokasi), cuma pesan online. Saya pesan, nanti kapal yang bawa. Kapal dari Tawau. Tapi kapal Indonesia sih, masuk dari sana,” jelasnya.
Wakil Bupati Nunukan Hanafiah mengatakan bahwa tantangan utama yang ada di Pulau Sebatik ialah menyangkut akses logistik. Akibatnya, harga produk-produk RI di Pulau Sebatik lebih mahal ketimbang Malaysia. Kondisi ini menjadi satu Pekerjaan Rumah (PR) besar bagi pihaknya.
“Sebenarnya kalau saja dari dalam negara atau Indonesia membantu mengatasi persoalan sembako dan lain-lain, dalam jumlah cukup, tentu kan orang tidak punya pilihan. Tetapi apabila hal ini tidak bisa terpenuhi, tentu kan jalan keluarnya cari ke tempat lain. Ini kan teori mudah sebenarnya. Hukum ekonomi. Ya masyarakat tidak dapat kita salahkan karena memang butuh pada saat itu dan harus cepat. Yang namanya sembako kan tidak dapat ditunda-tunda,” ujar Hanafiah, ditemui terpisah. (**)
Sumber Detikcom. https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis