Example floating
Example floating
NASIONAL

Tom Lembong: Ancaman Terbesar Bukan Negara Lain, Virus, atau Bom Nuklir, tapi Budaya Penjilat

354
×

Tom Lembong: Ancaman Terbesar Bukan Negara Lain, Virus, atau Bom Nuklir, tapi Budaya Penjilat

Sebarkan artikel ini

JAKARTA – Co-Captain Timnas Pemenangan Anies-Muhaimin (AMIN) Thomas Trikasih Lembong atau yang akrab disapa Tom Lembong berbicara tentang ancaman dan tantangan besar yang dihadapi sebuah bangsa. Ancaman tersebut adalah merebaknya budaya penjilat di lingkaran kekuasaan.

“Jadi saya suka bilang ancaman terbesar bagi negeri kita ini bukan negara lain, bukan virus, bukan pandemi, bukan bom nuklir, tapi penjilat. Karena penjilat itu menjerumuskan pimpinan-pimpinan kita ke arah yang salah,” jelasnya dalam podcast di kanal YouTube @Abraham Samad SPEAK UP, dikutip KBA News Sabtu, 24 Februari 2024.

Menurutnya budaya penjilat ini harus diberantas. Dengan lenyapnya budaya penjilat atau asal bapak senang (ABS), Indonesia bisa mengatasi ancaman sebesar apa pun.

“Sementara kalau misalnya kita jujur dan bicara apa adanya, dan kita memberantas budaya penjilat ini, tantangan dan ancaman apa pun bisa kita hadapi. Apakah itu pandemi, apakah itu bom nuklir kita bisa hadapi,” jelas mantan Menteri Perdagangan ini.

“Karena kita selalu akan berakar pada kebenaran, bukan kepada asal bapak senang ABS, di-feeding yang menyenangkan-menyenangkan doang, atau puja-puji. Puja-puji itu kan mendistorsi perspektif pimpinan,” sambungnya.

Tentang pentingnya mencari fakta yang sebenarnya dan menghindari informasi dari para penjilat, dia sering memberi contoh tentang dunia kedokteran. Apalagi kebetulan ayahnya adalah seorang dokter medis.

“Kalau kita mau mengobati seorang pasien, kita bukan mencari dongeng-dongeng yang menyenangkan. Kita mencari fakta dan realita apa akar daripada gejala penyakit melalui X-Ray, tes darah, tes laboratorium, kita cari bahkan fakta-fakta yang paling pahit,” ucapnya.

Sang dokter juga harus berterus terang kepada pasien. Kalau misalnya setelah didiagnosa ternyata pasien mengidap penyakit kanker, harus dikatakan sejujurnya. Jangan lalu disebut cuma penyakit flu.

“Coba kalau misalnya kita tahu ini kanker terus kita bilang, oh ini cuman flu doang kok. Loh kalau ini cuman flu, kenapa saya dikasih obat keras kayak gini. Bingung kan? Justru perlu kerja sama antara pasien dengan dokter yang dilandasi pada kebenaran pada fakta,” ungkapnya.

“Jadi sistem aristokrasi monarki atau oligarki yang rawan penjilatan dan pencitraan dan menuntup-nutupi realita dan fakta itu selalu akan kepeleset selalu akan salah langkah selalu akan salah kebijakan,” tegasnya.

Ketika disinggung tentang fenomena beras langka dan mahal saat ini, mantan Kepala BKPM RI mengaku masih terlalu dini baginya untuk menyimpulkan. Meskipun dia punya beberapa teori terkait hal tersebut. “Tapi ini sudah tanda-tanda bahwa pemerintahan tidak berjalan dengan baik,” tegasnya.

Namun yang pasti, katanya menambahkan, perlunya pendekatan teknokratis, transparan, dan akuntable, dalam menjalankan pemerintahan terutama dalam mengambil kebijakan. “Di mana tidak menutup menutupi-nutupi fakta-fakta. Yang tidak menyenangkan justru dicari, kebenaran realitanya sebenarnya seperti apa sih,” tandasnya. (kba).

Baca Juga:  Bangka Belitung Punya Icon Baru, Masjid Agung Qubah Timah