Oleh: Gamawan Fauzi
Saat ini ada 3 kelompok manusia di Indonesia yang berbeda menunggu tanggal 20 Oktober 2024 dalam hubungannya dengan hidup berbegara.
Kelompok pertama, adalah mereka yang tengah berduka, karena Presiden yang selama ini dipuja puji bak dewa akan menyudahi kedigdayaannya. Waktu bagi mereka terasa begitu cepat berlalu. Kalau bisa tambahlah 5 tahun lagi, atau setidak tidaknya berilah perpanjangan waktu seperti pertandingan sepak bola, disebabkan adanya free kick yang memakan waktu lama mengeksekusinya, dan free kick itu adalah covid 19 yang terjadi sekitar 2 tahun itu. Setidak tidak tambahlah kekuasaan presiden 2 tahun lagi. Kelompok ini pantas dikasihani karena sedang berduka berat .
Kelompok kedua, adalah mereka yang merasakan waktu berjalan begitu lambat, padahal tinggal hanya hitungan hari. Mereka seperti tak tahan menunggu saatnya tiba. Mereka sudah memiliki sejumlah agenda hebat untuk menyambut “raja baru” dengan sukacita. It’s time for us. Kini hari kita, hari yang sudah lama dinanti nanti. Baju baru sudah dipesan jauh jauh hari, latihan senyum dan tawa sudah tinggal diledakkan di gelanggang yang ramai. Pokoknya tak ada hari yang sebaik tanggal 20 Oktober 2024.
Bersamaan dengan itu ada juga kelompok yang tak menunggu raja baru, tapi menunggu menyaksikan seperti apa “Raja Jawa” setelah turun dari singgasana? Seperti apa kesetiaan para kelompok yang selama ini memuja? Masihkah adakah gelak tawa yang membahana? Atau busung dada dan masih kah setia seperti sebelumnya?
Visualisasi sikap itu akan ditonton khalayak dalam layar lebar Indonesia atau ratusan ribu media sosial, baik mengenai kurenah-nya, yaitu kelakuannya dan ucapannya ataupun sikapnya.
Kalau sebelumnya ada pasukan berani mati yang membela, maka setelah setelah tahta bukan lagi miliknya, kesetian itu akan seperti apa wujudnya?
Semua itu memerlukan kesabaran untuk mencermatinya. Namun seperti kata pepatah, cewang di langik tandokan paneh, gabak di hulu tandokan hujan. Tanda tanda sudah terbaca dalam banyak peristiwa dalam pekan pekan terkhir inl.
Pada 1 Oktober lalu, pada acara pelantikan anggota DPR RI, saat pimpinan sidang sementara memberikan kata pengormatan untuk Presiden Jokowi, tak ada lagi tepuk tangan untuknya, seperti lazimnya selama ini.
Presiden terlihat murung bersandar di kursi, yang masih sebesar dulu. Matanya teduh dan rautnya dingin tanpa ekspresi, tak ada senyum bergantung di wajahnya. Ruangan pun hening seperti rumah tinggal. Sejujurnya saya sedih melihat momen itu.
Lalu saya berpikir, di mana anggota partai partai yang secara formal hingga saat ini masih bergabung mendukukung presiden? Seperti itu betulkah politik? Seperti itu betulkah mereka memandang matahari akan tenggelam? Seperti itu betulkah yang namanya kepentingan ? Padahal di antara anggota DPR itu terdapat sejumlah nama yang dulu pernah diberi jabatan oleh presiden, bahkan sebagian besar anggota anggota DPR itu bernaung di bawah partai yang mayoritas pendukung Presiden Jokowi.
Sebaliknya, tatkala nama Prabowo Subianto, Presiden terpilih disapa oleh ketua sementara DPR RI, tepuk tangan pun gemuruh bak menyambut pahlawan yang pulang dalam kemenangan.
Saya kira itu wajarlah, karena Prabowo adalah “matahari” yang sedang naik atau rising star. Tentu banyak yang kemudian berharap untuk masa lima tahun ke depan, bahkan partai partai yang kalah dalam kompetisi Pilpres pun tanpa malu sudah bergegas merapat. Masyarakat tentu tak tahu, apakah tepuk tangannya lebih keras atau bertepuk seadanya sambil malu-malu.
Pemandangan ini mengajarkan bangsa dan anak cucu kita, bahwa persahabatan politik bukanlah pertemanan yang setia, melainkan simpati yang dibungkus kepura-puraan. Saat berkuasa disanjung-sanjung dan dibela dengan segenap jiwa raga, tapi saat panggung kekuasaan mulai dilepas, tepuk tanganpun enggan diberikan.